Sabtu, 17 Mei 2008

Hikayat 1001 Malam

Tentu telinga kita sudah akrab mendengar kisah-kisah seperti Aladdin dan Lampu Wasiat, Ali Baba, Sinbad si Pelaut dan Abu Nawas. Kisah-kisah tersebut sebenarnya merupakan bagian dari kumpulan cerita rakyat Arab dalam buku yang berjudul Alfu Laila wa Laila. Kisah-kisah ini banyak diceritakan kembali dalam berbagai bahasa dan versi, tidak hanya di kawasan Persia (sekarang wilayah Iran, Iraq, Afghanistan, Tajikistan, dan Uzbekistan) namun juga oleh negeri-negeri Eropa. Bahkan, Amerika pun mengangkat cerita tersebut ke dalam film dan kartun animasi.

Buku yang dalam versi bahasa Inggris berjudul The Arabian Nights ini pertama kali diperkenalkan pada bangsa-bangsa Barat oleh seorang sarjana Prancis bernama Jean Antoine Galland. Dia menemukan naskah kumpulan dongeng Arab ini dalam perjalanannya sebagai kolektor benda-benda antik untuk sebuah museum. Jean lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis menjadi sebanyak 12 jilid pada 1704-1717.

Hingga saat ini, penulis buku yang dikalim sudah menjadi milik dunia (tidak hanya orang Arab dan Persia) ini masih misterius. Ada yang berpendapat kisah ini ditulis oleh Abu Abdullah bin Abdus Al Jasyyari berdasarkan cerita berbahasa Persia berjudul Hazar Afsanak yang berarti Seribu Cerita. Namun, versi lain mengatakan bahwa buku ini ditulis oleh lebih dari satu penulis dan pada masa yang berbeda-beda.

Kisah ini dituturkan dengan gaya bercerita oleh Syahrizad, istri Raja Syahriyar, yang bercerita atas permintaan adiknya, Dunyazad, dan didengarkan oleh sang raja. Syahrizad bercerita agar sang raja tidak melakukan pembunuhan terhadap dirinya.


Disebutkan bahwa Raja Syahriyar dan adiknya, Raja Syahzaman, pada mulanya adalah raja yang adil selama 20 tahun pemerintahannya, namun kemudian berubah menjadi raja yang kejam yang membunuh setiap wanita yang dikawininya pada malam pertama pernikahan.

Perubahan sifat raja berawal dari penyelewengan istrinya dan penyelewengan istri adiknya yang melakukan perzinahan dengan budak berkulit hitam sewaktu raja pergi berburu. Perbuatan itu dilihatnya sendiri karena ia tiba-tiba pulang untuk mengambil sesuatu yang terlupa. Ketika ia berada di negeri adiknya, Syahzaman, ia juga melihat perbuatan seorang istri adiknya dengan budak berkulit hitam sewaktu adiknya tidak berada di rumah.


Syahriyar menjadi orang yang tidak percaya pada setiap wanita. Dendamnya pada wanita dilampiaskannya pada gadis-gadis yang dinikahinya. Setelah beberapa lama, di negeri itu sudah tidak didapatkan lagi gadis yang akan dipersembahakan kepada raja, kecuali puteri wazir, yaitu Syahrizad.


Syahrizad bersedia dinikahkan dengan raja untuk menyelamatkan nyawa wanita-wanita yang lain. Syahrizad digambarkan sebagai wanita cerdas yang banyak membaca cerita, hikayat, dan kisah lama. Sejak malam pertama sampai malam ke 1001, ia bercerita berbagai cerita secara bersambung sampai subuh Dengan cerita-cerita ini akhirnya raja sadar dan insaf, dan puteri Syahrizad selamat dari pembunuhan

Meskipun ada pendapat bahwa dunia Islam telah menyumbangkan Hikayat 1001 Malam ini pada khazanah literatur sastra dunia, namun sayang tidak nampak walau setidaknya dalam bentuk ungkapan metaforis akan nilai-nilai Islam di dalamnya. Bahkan di beberapa fragmen ada pertentangan antara yang diceritakan di dalamnya dengan kenyataan yang ada. Salah satu contohnya adalah sosok Khalifah Harum Al Rasyid.

Harun Ar Rasyid dalam dongeng ini digambarkan sebagai tokoh yang berkepribadian santai, terkesan pemalas duduk di sofa besar bertelekan bantal besar yang empuk dengan mengenakan pakaian kebesaran khas kesultanan Baghdad. Hal ini tentu bertentangan dengan sosok sang Khalifah pada dunia nyata.www.khilafah-centre.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
© free template by Blogspot tutorial