Sabtu, 17 Mei 2008

Beban Berat Masyarakat (BBM)

Oleh Hady Sutjipto

Tinggal tunggu waktu. Itulah suasana hati masyarakat saat ini ketika pemerintah akan menaikkan harga BBM.

Pemerintahan SBY-JK telah dua kali menaikkan harga BBM, yaitu 30% pada Maret 2005 dan 120% pada 1 Oktober 2005. Menurut Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, kenaikan harga BBM itu akan diimbangi dengan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) plus bagi masyarakat miskin. Dana kompensasi BBM mencapai Rp 35 triliun dan akan dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan (Pikiran Rakyat, 8/5/2008).

Skenario kenaikan BBM diam-diam sudah tertuang dalam APBN-Perubahan 2008. Dalam APBN-P 2008, pemerintah diberi keleluasaan DPR untuk menaikkan BBM bila meroketnya harga minyak mentah dunia sudah tidak bisa dikendalikan lagi oleh pemerintah.

Dalam APBN-P 2008, anggaran untuk subsidi BBM mencapai Rp 126,8 triliun dengan asumsi ICP di posisi 100 dolar AS per barel. Hingga Maret 2008, realisasi subsidi BBM telah mencapai Rp 33,55 triliun atau sekitar 26,6% dari total subsidi BBM.

Efek domino

Kenaikan BBM saat ini akan mengakibatkan efek domino di masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Secara ekonomi, kenaikan tersebut akan mengakibatkan kenaikan harga-harga dan barang jasa (inflasi) yang bisa tak terkendali. Saat ini saja, sementara harga BBM belum naik, harga-harga sembako sudah lebih dulu naik.

Seiring naiknya BBM, pemerintah juga dimungkinkan menyesuaikan tarif dasar listrik (TDL). Belum lagi tarif tol Cikampek dan tol Bandara akan segera naik dalam waktu dekat. Kenaikan tarif tol akan terjadi sesuai dengan perkembangan inflasi.

Pertamina telah menaikkan lagi harga BBM industri per 1 Mei 2008 berkisar 6,4% sampai 11%. Kondisi ini membuat para pengusaha ikut menjerit. Pengusaha tidak dapat lagi menanggung biaya produksi dan distribusi. Dampaknya, tidak sedikit pengusaha yang harus mem-PHK buruh dan karyawannya.

Berdasarkan pengalaman, naiknya BBM sebesar 126% pada Oktober 2005, diiringi peningkatan angka kemiskinan dari 31,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 39,3 juta jiwa pada 2006. Inflasi pun mengalami kenaikan tajam sebesar 17,75%.

Lembaga Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan, kenaikan harga BBM sebesar 30% berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah 15,68 juta jiwa.

Betulkah tidak ada langkah lain?

Kebijakan menaikkan BBM adalah langkah terakhir. Pemerintah seperti berupaya meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah telah sungguh-sungguh menempuh cara lain di luar "langkah terakhir" itu. Namun, jangan-jangan sebetulnya bukan langkah terakhir yang diambil, melainkan langkah termudah.

Masalahnya, jelas, masih ada cara atau langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengatasi defisit APBN. Antara lain, pertama, penangguhan pembayaran utang luar negeri. Tahun 2008 ini cicilan utang plus bunga mencapai Rp 156,04 triliun. Namun, menurut Deputi Menteri Negara PPN/Bappenas Bidang Pendanaan Pembangunan Lukita D. Tuwo, pemerintah belum akan meminta penangguhan pembayaran utang luar negeri. Penundaan justru dikhawatirkan akan menurunkan peringkat utang Indonesia di mata investor internasional. Itu menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada kreditor ketimbang kepada rakyatnya sendiri.

Kedua, memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang mencapai Rp 146 triliun dan dana bagi hasil sumber daya alam sebesar Rp 41,80 triliun. Dana ini bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi beban pemerintah dan masyarakat.

Ketiga, penghematan belanja rutin pemerintah berupa pemotongan anggaran untuk kementerian dan lembaga yang dilakukan di seluruh daerah.

Keempat, pemeriksaan terhadap dugaan inefisiensi di PT Pertamina, termasuk permainan mafia dalam kegiatan perdagangan ekspor dan impor minyak dan gas (migas). Ternyata, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama ini belum pernah melakukan audit terhadap masalah tersebut di atas (Pikiran Rakyat, 9/5/2008).

Konsep Islam

Di tengah daya beli masyarakat yang melemah saat ini, menaikkan harga BBM adalah tindakan yang sangat sewenang-wenang, zalim, dan tidak memedulikan kesulitan yang diderita masyarakat. Pemerintah tidak menunjukkan dirinya sebagai sebuah institusi yang memiliki otoritas untuk melindungi dan mengatur kesejahteraan rakyatnya. Jika pemerintah sudah tidak lagi memedulikan urusan rakyatnya sendiri dan tidak mau tahu dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat, lalu siapa yang mengatur dan memelihara urusan rakyat? Sikap seperti ini tentu jauh dari sikap memegang amanah sebagai pihak yang wajib memelihara kemaslahatan rakyat.

BBM termasuk barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Islam menetapkan BBM dalam kelompok barang tambang milkiyyah `ammah, yakni dimiliki oleh umum (collective property) lantaran jumlahnya yang tidak terhitung. Eksplorasi maupun eksploitasi barang tambang yang tak terhitung ini harus dilakukan oleh negara atas nama rakyat kaum Muslim sebagai pemiliknya untuk dikelola dalam rangka memakmurkan kehidupan rakyat.

Dalam pandangan syariat Islam, air, padang rumput (hutan), dan BBM--juga barang tambang yang jumlahnya sangat banyak--merupakan milik umum/rakyat. Hal ini tegas sekali disebutkan dalam hadis, "Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal, air, padang gembalaan, dan api. Harga ketiganya (yakni memperjualbelikannya-red.) adalah haram". (H.R. Ibn Majah).

Sebagai pemilik, rakyat berhak untuk menikmati manfaat dari semua itu untuk berbagai keperluan. Namun, karena BBM khususnya, memerlukan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, serta distribusi yang tidak sederhana, rakyat menyerahkan semua itu kepada pemerintah sebagai wakil mereka.

Jadi, pemerintah dalam hal ini lebih merupakan wakil dari rakyat, bukan sebagai pemilik karena pemilik yang sesungguhnya adalah rakyat. Oleh karena bukan pemilik, pemerintah tidak berhak menyerahkan pengelolaan sumber daya alam itu kepada orang tertentu, apalagi pihak asing. Pemerintah juga tidak berhak bertindak seolah-olah sebagai penjual, apalagi menempatkan rakyat sebagai pembeli. Bagaimana mungkin sang pemilik harus membeli miliknya sendiri, apalagi membeli dari orang asing di halaman rumah sendiri? Kalau demikian, sikap pemerintah menaikkan harga BBM ini untuk rakyat ataukah pihak asing?

Ketika disebut bahwa pemerintah telah memberikan subsidi besar sehingga harga BBM di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran internasional, timbul kesan seolah yang empunya BBM adalah pemerintah yang menjual kepada rakyat dengan harga bersubsidi.

Sebagai penjual, pemerintah merasa subsidi yang diberikan kepada rakyat terlalu besar sehingga perlu dikurangi agar tidak terlalu membebani APBN. Konsep seperti ini adalah khas kapitalis, yang tentu saja bertentangan dengan konsep Islam. Jelaslah bahwa kebijakan kenaikan BBM, di samping bertentangan dengan syariat Islam juga merupakan jalan bagi berlangsungnya liberalisasi industri migas yang akan membahayakan ekonomi rakyat pada masa mendatang. Wallahualam.***

Penulis, dosen Prodi Ilmu Ekonomi FE Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Ketua Lajnah Maslahiyah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat.

Sumber: Pikiran Rakyat Online

0 komentar:

Posting Komentar

 
© free template by Blogspot tutorial